BATU BARA

3,2 GW PLTU Beroperasi Tahun Ini, ESDM Tegaskan Batu Bara Tetap Dibutuhkan di Tengah Transisi Energi

3,2 GW PLTU Beroperasi Tahun Ini, ESDM Tegaskan Batu Bara Tetap Dibutuhkan di Tengah Transisi Energi
3,2 GW PLTU Beroperasi Tahun Ini, ESDM Tegaskan Batu Bara Tetap Dibutuhkan di Tengah Transisi Energi

JAKARTA — Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengonfirmasi bahwa kapasitas pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbasis batu bara sebesar 3,2 gigawatt (GW) akan mulai beroperasi secara komersial sepanjang tahun 2025. Jumlah tersebut merupakan bagian dari total 6,3 GW kapasitas PLTU yang direncanakan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034.

Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jisman P. Hutajulu, menyatakan bahwa sebagian besar PLTU yang beroperasi tahun ini telah mencapai tahap commercial operation date (COD) dan tersebar di berbagai wilayah Indonesia.

“Sebagian besar yang batu bara ini sudah COD di 2025 ini sekitar 3,2 GW,” ungkap Jisman dalam acara Diseminasi Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan RUPTL di Kantor Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan, Jakarta.

Jisman menambahkan, pembangkit-pembangkit tersebut tidak hanya berasal dari proyek milik PT PLN (Persero), tetapi juga dari skema kerja sama dengan pihak swasta atau independent power producer (IPP). Meski begitu, ia tidak merinci satu per satu durasi operasi maupun rincian teknis setiap pembangkit, mengingat perbedaan struktur kontrak yang digunakan.

Masih Ada 3,1 GW PLTU dalam Proses Konstruksi

Sementara 3,2 GW PLTU telah siap beroperasi tahun ini, sisanya sebesar 3,1 GW saat ini masih dalam tahap konstruksi. Seluruhnya merupakan bagian dari proyek-proyek yang telah dirancang sebelumnya dalam RUPTL, dan dijadwalkan rampung secara bertahap sebelum 2030. Proyek-proyek ini diyakini akan menopang stabilitas energi nasional, terutama di wilayah yang masih belum sepenuhnya terjangkau pembangkit energi baru terbarukan (EBT).

Menurut Jisman, batu bara masih memiliki peran penting dalam menjaga ketahanan energi nasional. Ia menegaskan bahwa meskipun dunia tengah bergerak menuju transisi energi bersih, Indonesia tetap memerlukan pembangkit berbasis batu bara dalam jangka menengah.

“PLTU batu bara ini bukan barang haram. Batu bara banyak dihasilkan Indonesia,” tegas Jisman. “Yang penting adalah bagaimana mengelola emisinya agar tidak merusak lingkungan dan tidak berdampak besar bagi masyarakat dan global.”

Batu Bara sebagai Penyangga EBT di Masa Transisi

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia dalam kesempatan berbeda juga menegaskan pentingnya kehadiran PLTU berbasis batu bara dalam sistem energi nasional. Menurutnya, keterbatasan teknologi dan sumber daya dari EBT, terutama tenaga surya, masih menyulitkan sistem kelistrikan untuk sepenuhnya lepas dari energi fosil.

“Energi baru terbarukan kita ini, kalau pada siang hari kan dia menyerap. Begitu sore hari, malam hari, udah enggak. Maka, harus ada batu bara,” ujar Bahlil.

Ia juga menyebutkan bahwa permintaan batu bara dari luar negeri tetap tinggi, bahkan dari negara-negara yang sedang gencar mengembangkan energi hijau. Hal ini menjadi pertimbangan pemerintah untuk tetap memanfaatkan potensi batu bara nasional secara optimal dalam masa transisi menuju bauran energi yang lebih bersih.

Target RUPTL 2025–2034: 69,5 GW Tambahan Kapasitas Listrik

Dalam RUPTL 2025–2034, pemerintah menargetkan penambahan kapasitas pembangkit sebesar 69,5 GW. Dari angka tersebut, porsi terbesar berasal dari energi terbarukan sebesar 42,6 GW atau 61 persen. Sistem penyimpanan energi menyumbang 10,3 GW (15 persen), sedangkan sisanya terdiri dari gas (10,3 GW) dan batu bara (6,3 GW) yang masing-masing menyumbang sekitar 12 persen dan 9 persen dari total.

Komposisi ini menunjukkan bahwa arah kebijakan energi nasional tetap mendorong pertumbuhan pembangkit berbasis EBT, namun tidak serta-merta meninggalkan batu bara dalam waktu dekat. Pemerintah mengedepankan prinsip just energy transition yang mempertimbangkan kesiapan infrastruktur, pasokan, dan stabilitas sistem.

Batu Bara Masih Dibutuhkan, Namun Ramah Lingkungan Jadi Prioritas

Meski masih bergantung pada PLTU berbasis batu bara, pemerintah terus mendorong penerapan teknologi rendah emisi seperti supercritical dan ultra-supercritical, serta penggunaan sistem pengendalian emisi dan co-firing biomassa untuk menekan dampak lingkungan.

Dalam jangka panjang, pengembangan teknologi carbon capture and storage (CCS) juga masuk dalam agenda besar transisi energi Indonesia.

“Yang penting bukan hanya energi bersih, tetapi juga energi yang terjangkau dan andal. Transisi energi harus adil dan bertahap,” ujar Jisman menutup pernyataannya.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index